A. Permenkes No. 269 Tahun 2008
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 269/MENKES/PER/III/2008
TENTANG
REKAM MEDIS
NOMOR 269/MENKES/PER/III/2008
TENTANG
REKAM MEDIS
MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokieran,
perlu mengatur kembali penyelenggaraan Rekam Medis dengan Peraturan Menteri
Kesehatan;
|
Mengingat:
1.Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3495);
2.Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4431);
3.Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republi
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerinlah Penganti Undang-Undang Namer 3 Tahun
2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2803):;
5.Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3637);
6.Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah. Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tether 2007 Namer 82.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomo 4737);
7.Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan
Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
8.Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1985 tentang Rumah Sakit;
9.Peraturan
Menteri Kesehatan Namer 1575/Menkes/Per/XII/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
REKAM MEDIS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1.Rekam
medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.
2.Dokter
dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dergan peraturan perundang-undangan.
3.Sarana
pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan
yang dapat digunakar untuk praktik kedokteran dan kedokteran gigi.
4.Tenaga
kesehatan tertentu adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasuen selain dokter dan dokter gigi.
5.Pasien
adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
6.Catatan
adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan
yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
7.Dokumen
adalah catatan dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu, laporan
hasil pemeriksaan penunjang catatan observasi dan pengobatan harian dan semua
rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging),
dan rekaman elektro diagnostik.
8.Organisasi
Profesi adalah Ikatan Doker Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia untuk dokter gigi.
BAB II
JENIS DAN ISI REKAM MEDIS
JENIS DAN ISI REKAM MEDIS
Pasal 2
(1)Rekam medis harus dibuat secara
tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik.
(2)Penyelenggaraan rekam medis
dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan
peraturan tersendiri.
Pasal 3
(1)Isi rekam medis untuk pasien
rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat a.
identitas pasien;
b.tanggal dan waktu;
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis;
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.pelayanan lainyang telah diberikan kepada pasien;
i.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
j.persetujuan tindakan bila diperlukan.
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis;
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.pelayanan lainyang telah diberikan kepada pasien;
i.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
j.persetujuan tindakan bila diperlukan.
(2)Isi rekam medis untuk pasien
rawat inap dan perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.tanggal dan waktu;
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemerisaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis:
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.persetujuan tindakan bila diperlukan;
i.catatan observasi klinis dan hasil pengobatan.
j.ringkasan pulang (discharge summary);
b.tanggal dan waktu;
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemerisaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis:
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.persetujuan tindakan bila diperlukan;
i.catatan observasi klinis dan hasil pengobatan.
j.ringkasan pulang (discharge summary);
k.nama dan tanda tangan dokter,
dokter gigi, atau tenaga kesehalan tertentu yang memberikan pelayanan
kesehatan;
l.pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
tertentu; dan
m.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.
m.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.
(3)Isi rekam medis untuk pasien
gawat darurat sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;
c.identitas pengantar pasien;
d.tanggal dan waktu;
e.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
f.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g.diagnosis;
h.pengobatan dan/atau tindakan;
b.kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;
c.identitas pengantar pasien;
d.tanggal dan waktu;
e.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
f.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g.diagnosis;
h.pengobatan dan/atau tindakan;
i.ringkasan kondisi pasien sebelum
meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut;
j.nama dan tanda tangan dokter,
dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan
kesehatan;
k.sarana transportasi yang digunakan
bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain; dan
l.pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
(4)Isi rekam medis pasien dalam
keadaan bencana, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditambah denqan:
a.jenis bencana dan lokasi di mana
pasien ditemukan;
b.kategori kegawatan dan nomor pasien bencana masal; dan
c.identitas yang menemukan pasien;
b.kategori kegawatan dan nomor pasien bencana masal; dan
c.identitas yang menemukan pasien;
(5)Isi rekam medis untuk pelayanan
dokter spesialis atau dokter gigi spesialis dapat dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan.
(6)Pelayanan yang diberikan dalam
ambulans atau pengobatan masal dicatat dalam rekam medis sesuai ketentuan
sebagaimana diatur pada ayat (3) dan disimpan pada sarana pelayanan kesehatan
yang merawatnya.
Pasal 4
(1)Ringkasan pulang sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 ayat (2) harus dibuat o!eh dokter atau dokter gigi yang
melakukan perawatan pasien.
(2)Isi ringkasan pulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.diagnosis masuk dan indikasi pasien dirawat;
b.diagnosis masuk dan indikasi pasien dirawat;
c.ringkasan hasil pemeriksaan fisik
dan penunjang, diagnosis akhir, pengobatan, dan tindak lanjut; dan
d.nama dan tanda tangan dokter atau
dokter gigi yang memberikan pelayanan kesehatan.
BAB III
TATA CARA PENYELENGGARAAN
TATA CARA PENYELENGGARAAN
Pasal 5
(1)Setiap
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2)Rekam
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat segera dan dilengkapi
setelah pasien menerima pelayanan.
(3)Pembuatan
rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pencatatan
dan pendokumentasian hasil pemeriksaan pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien.
(4)Setiap
pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung.
(5)Dalam
hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat
dilakukan pembetulan.
(6)Pembetuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan
tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter
gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang bersangkutan.
Pasal 6
Dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga
kesehatan tertentu bertanggungjawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat
pada rekam medis.
Pasal 7
Sarana pelayanan kesehatan wajib
menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis.
BAB IV
PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN KERAHASIAAN
PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN KERAHASIAAN
Pasal 8
(1)Rekam
medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau
dipulangkan.
(2)Setelah
batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam
medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan
medik.
(3)Ringkasan
pulang dan persetujuan tindakan medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari tanggal dibuatnya
ringkasan tersebut.
(4)Penyimpanan
rekam medis dan ringkasan pulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
Pasal 9
(1)Rekam
medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan
sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal
terakhir pasien berobat.
(2)Setelah
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis dapat
dimusnahkan.
Pasal 10
(1)Informasi
tentang identitas diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga
kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(2)Informasi
tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan
riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:
a.untuk
kepentingan kesehatan pasien;
b.memenuhi permintaan aparatur penegak
hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
c.permintaan
dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d.permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
d.permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
e.untuk kepentingan penelitian,
pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien;
(3)Permintaan
rekam medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan
secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 11
(1)Penjelasan
tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(2)Pimpinan
sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis
atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
KEPEMILIKAN, PEMANFAATAN DAN TANGGUNG JAWAB
KEPEMILIKAN, PEMANFAATAN DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 12
(1)Berkas
rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.
(2)Isi
rekam medis merupakan milik pasien.
(3)Isi
rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam
medis.
(4)Ringkasan
rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan. dicatat, atau
dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis
pasien atau keluarga pasren yang berhak untuk itu.
Pasal 13
(1)Pemanfaatan
rekam medis dapat dipakai sebagai:
a.pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan pasien;
b.alat bukti dalam proses penegakan
hukum, disiplin kedokteran, dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran
dan etika kedokteran gigi;
c.keperluan
pendidikan dan penelitian;
d.dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
e.data statistik kesehatan.
d.dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
e.data statistik kesehatan.
(2)Pemanfaatan
rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang menyebutkan
identitas pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pasien atau
ahli warisnya dan harus dijaga kerahasiaannya.
(3)Pemanfaatan
rekam medis untuk keperluan pendidikan dan penelitian tidak diperlukan
persetujuan pasien, bila dilakukan untuk kepentingan negara.
Pasal 14
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan
bertanggung jawab atas hilang, rusak, pemalsuan, dan/atau penggunaan oleh orang
atau badan yang tidak berhak terhadap rekam medis.
BAB VI
PENGORGANISASIAN
PENGORGANISASIAN
Pasal 15
Pengelolaan rekam medis dilaksanakan
sesuai dengan organisasi dan tata kerja sarana pelayanan kesehatan.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 16
(1)Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan organisasi
profesi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2)Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 17
(1)Dalam
rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dapat mengambil tindakan administratif
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(2)Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Dokter, dokter gigi, dan sarana
pelayanan kesehatan harus menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan ini paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggai
ditetapkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Menteri ini
mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989
tentang Rekam Medis, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 20
Peraturan in mulai berlaku pada tanggal ditetapkan agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
v Menganalisis Isi Permenkes no. 269 Tahun 2008
I.
Aturan – aturan
untuk Penyimpangan, pemusnahan dan kerahasiaan
Sesuai
Permenkes tersebut dijelaskan antara lain:
A. Untuk Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit dalam
mengelola dan pemusnahan rekam medis maka harus memenuhi aturan sebagai
berikut:
1. Rekam medis pasien rawat inap wajib disimpan
sekurang-kuangnya 5 tahun sejak pasien berobat terakhir atau pulang dari
berobat di rumah sakit.
2. Setelah 5 tahun rekam medis dapat dimusnahkan kecuali
ringakasan pulang dan persetujuan tindakan medik.
3. Ringakasan pulang dan persetujuan tindakan medik wajib
disimpan dalam jangka waktu 10 sejak ringkasan dan persetujuan medik
dibuat.
4. Rekam medis dan ringkasan pulang disimpan oleh petugas yang
ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
B. Untuk Pelayanan Kesehatan non rumah Sakit dalam mengelola
dan pemusnahan rekam medis harus memenuhi aturan sebagai berikut:
1. Rekam medis pasien wajib disimpan sekurang-kuangnya 2 tahun
sejak pasien berobat terakhir atau pulang dari berobat. Setelah 2 tahun maka
rekam medis dapat dimusnahkan.
Kerahasiaan isi rekam medis yang
berupa identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, petugas
kesehatan lain, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Untuk keperluan tertentu rekam medis tersebut dapat dibuka dengan ketentuan:
1. Untuk kepentingan kesehatan pasien.
2. Atas perintah pengadilan untuk penegakan hukum.
3. Permintaan dan atau persetujuan pasien sendiri.
4. Permintaan lembaga /institusi berdasarkan undang-undang.
5. Untuk kepentingan penelitian, audit, pendidikan dengan
syarat tidak menyebutkan identitas pasien.
Permintaan rekam medis tersebut
harus dilakukan tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Sesuai Ketentuan Permenkes No.
269/MENKES/PER/III/2008 maka kita dapat menjalankan pengelolaan rekam medis di
rumah sakit maupun non rumah sakit. Dokter, dokter gigi dan petugas lain,
pengelola dan pimpinan harus menjaga kerahasiaan rekam medis serta dapat
memanfaatkan rekam medis sesuai ketentuannya.
II.
Macam – macam
sanksi yang diberikan pelanggaran Permenkes 269 Tahun 2008
Aspek
Hukum, Disiplin Dan Etik Rekam Medis
Rekam medis dapat digunakan sebagai salah
satu alat bukti tertulis di pengadilan[8],
dan dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain mendapat
sanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai dengan UU
praktik kedokteran, peraturan KKI, Kode Etik kedokteran Indonesia (KODEKI), dan
Kode Etik kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI)[9].
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
tentang tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin, ada 3
alternatif sanksi disiplin yaitu :
1. Pemberian
peringatan tertulis.
2. Rekomendasi
pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
3. Kewajiban
mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
CONTOH KASUS DALAM PERMENKES 269
TAHUN2008
Kasus Rekam
Medis
Ketika seorang petugas kesehatan dituntut karena membuka
rahasia kedokteran (isi Rekam Medis) kepada pihak ketiga tanpa izin pasien atau
bahkan menolak memberitahukan isi rekam medis (yang merupakan milik pasien)
ketika pasien menanyakannya. Seorang tenaga kesehatan dapat secara sengaja membuka
rahasia pasien (isi Rekam Medis) dengan cara menyampaikannya secara langsung
kepada orang lain. Akan tetapi ia dapat juga membukanya secara tidak sengaja,
yaitu ketika ia membicarakan keadaan pasien dengan petugas kesehatan lain di
depan umum atau jika ia menaruh Rekam Medis secara sembarangan sehingga orang
yang tidak berkepentingan dapat melihatnya. Untuk tindakan membuka rahasia ini
petugas kesehatan dapat dikenakan sanksi pidana, perdata maupun administrative.
Secara pidana membuka rahasia kedokteran diancam pidana melanggar pasal 322
KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 bulan penjara. Secara perdata,
pasien yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi berdasarkan pasal 1365 jo
1367 KUH Perdata. Secara administratif, PP No.10 tahun 1966 menyatakan bahwa
tenaga kesehatan yang membuka rahasia kedokteran dapat dikenakan sanksi
admninistratif, meskipun pasien tidak menuntut dan telah memaafkannya
2. Permenkes No. 290 Tahun 2008
A. PERATURAN
DAN DASAR HUKUM
Dalam
hukum Kesehatan Terdapat Peraturan yang di gunakan Antara lain , Undang-Undang
Dasar 1945,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata,Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,Undang-Undang No. 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,PP No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan
Rahasia kedokteran,PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,Permenkes RI
No. 585/Men.Kes/Per/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik,Permenkes RI No.
729a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record,Kepdirjen
Pelayanan Medis No. HK.00.06.6.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan
Medis (Informed Consent)
Adanya pengaturan
mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun 1989
tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1)
sampai (6) yang berbunyi:
Pasal
45 ayat
(1): Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2)
: Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3)
: Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
a.
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b.
tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c.
alternatif tindakan lain dan risikonya;
d.
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e.
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4)
: Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
(5)
: Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(6)
: Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat
(4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari
Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara
persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan
menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
B. BENTUK
INFORMED CONSENT
Secara
umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan
medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.
Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir
3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2.
Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat
non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak
pasien;
3.
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
Tujuan Informed
Consent:
1.
Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya.
2.
Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 )
v Menganalisis Isi Permenkes 290 Tahun 2008
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Menurut
PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB
IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan
informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik
lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam
hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam
masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan
medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah
“kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti rugi”.
Sedangkan
pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek
Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan
dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini
karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;
Aspek
Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka
pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu
pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent”
benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak
yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari
informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan
apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal
tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga
belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap
masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Informed
Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan
ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila
dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat
4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan
antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk
membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab
yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari
syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas
kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang
cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat
informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus
memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada
beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed
Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat
memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya
menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan
ketakutan ( Fear ).
Persetujuan
yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang
dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tindakan
medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily
assault ).
Menurut
Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan,
sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat
2 ).
Sanksi Hukum terhadap Informed
Consent
· Sanksi
pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan
benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan
yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
· Sanksi
perdata
Tenaga
kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat
dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
· Sanksi
administratif
Pasal
13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap
dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.
ISI INFORMASI YANG
HARUS DISAMPAIKAN
Dalam
Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien /
keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang
disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien.
Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani
pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau
keluarga dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari
terapi yang akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat
dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang
harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling
untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk
tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul
perselisihan.
Secara garis besar
dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa
hal, yaitu:
1. Garis besar seluk
beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan
diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang
dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis
keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode
perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat
terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan
/ pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau menyimpang dari
kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya
dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan
yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah
ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya
tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan
urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila
tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang
lain.
6. Kadangkala biaya
yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang
harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
1. Resiko yang melekat
pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak
bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat
indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan
tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 /
Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat
2).
Pengecualian terhadap
keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat
darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan
jiwa.
2. Keadaan emosi
pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
Contoh
kasus dari permenkes 290 tahun 2008
Untuk pasien kegawatdaruratan yang tidak sadarkan diri dan harus segera
diberikan pertolongan sedangkan keluarga belum ada yang dating maka dokter
berhak memberikan pertolongan kepada pasien, namun setelah diberikan
pertolongan dokter wajib menjelaskan padapasien setelah sadar atau keluarga
pasien atas tindakan yang telah diberikan pada pasien tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No
209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed
consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa
dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga
terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan
penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada
keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk
penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk
memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
A. KESIMPULAN
Untuk
Permenkes 269 Tahun 2008 : Rekam medis merupakan suatu rekaman atas tindakan
yang dilakukan oleh doctor maupun tenaga kesehatan lainnya di suatu rumah
sakit. Isi informasi rekam medis bersifat rahasia. Rekam medis diadakan sebagai
bentuk tata tertib administrasi layanan rumah sakit dan sebagai dokumen
pertanggung jawaban atas segala tindakan medis atas pasien. Pengelolaan,
perawatan hingga pelayanan rekam medis
menjadi tanggung jawab masing –masing rumah sakit. Rekam medis memiliki nilai
guna ilmu pengetahuan yaitu sebagai referensi utama dalam analisis penyakit
ataupun wabah penyakit. Keberadaan rekam
medis dapat dikatakan sebagai arsip yang dihasilkan oleh rumah sakit maupun
dokter praktek. Oleh karena itu perlakuannya hamper sama, dengan perlakuan
terhadap arsip, seperti pada tahap penyimpanan. Apabila terjadi gangguan
terhadap isi informasi rekam medis ( kehilangan maupun pencurian ), terdapat
beberapa sanksi hokum yang berlaku. Meskipun tidak seketat sanksi atas gangguan
terhadap arsip.
Untuk
Permenkes 290 Tahun 2008 : Di
Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed
consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004. informed Consent yang di proleh dengan tata
cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai penemu hak otonomi pasien ,
sehingga oleh karna nya merupakan tindakan melanggar hukumnamun demikian
pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya di lakukan dengan mengindahkan
nilai nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.
B.
SARAN
Dalam
Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita
dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah Dalam hal ini Pemerintah
Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, meyelenggarakan dan membina Serta
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi
seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, terhadap rekam medis dan Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan .
DAFTAR PUSTAKA
1.
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu,
Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi
Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
2.
Undang undang nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran;
3.
Hanafiah, M. Jusuf, Amri,
Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3, 1999,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
4.
Rustiyanto, Ery, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan,
2009, Yogyakarta: Graha Ilmu
5.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan
6.
Permenkes Nomor 269 Tahun 2008
tentang Rekam Medis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar