Senin, 28 Maret 2016

UU untuk Rekam Medis dn UU untuk Informed Consent



A.  Permenkes No. 269 Tahun 2008
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 269/MENKES/PER/III/2008
TENTANG
REKAM MEDIS
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 47 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokieran, perlu mengatur kembali penyelenggaraan Rekam Medis dengan Peraturan Menteri Kesehatan;
Mengingat:
1.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
2.Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
3.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republi Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerinlah Penganti Undang-Undang Namer 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2803):;
5.Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);
6.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah. Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tether 2007 Namer 82. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomo 4737);
7.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
8.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1985 tentang Rumah Sakit;
9.Peraturan Menteri Kesehatan Namer 1575/Menkes/Per/XII/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG REKAM MEDIS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1.Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
2.Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dergan peraturan perundang-undangan.
3.Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakar untuk praktik kedokteran dan kedokteran gigi.
4.Tenaga kesehatan tertentu adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasuen selain dokter dan dokter gigi.
5.Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
6.Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
7.Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging), dan rekaman elektro diagnostik.
8.Organisasi Profesi adalah Ikatan Doker Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
BAB II
JENIS DAN ISI REKAM MEDIS
Pasal 2
(1)Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik.
(2)Penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri.
Pasal 3
(1)Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat a. identitas pasien;
b.tanggal dan waktu;
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis;
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.pelayanan lainyang telah diberikan kepada pasien;
i.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
j.persetujuan tindakan bila diperlukan.
(2)Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.tanggal dan waktu;
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemerisaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis:
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.persetujuan tindakan bila diperlukan;
i.catatan observasi klinis dan hasil pengobatan.
j.ringkasan pulang (discharge summary);
k.nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehalan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
l.pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; dan
m.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.
(3)Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;
c.identitas pengantar pasien;
d.tanggal dan waktu;
e.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
f.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g.diagnosis;
h.pengobatan dan/atau tindakan;
i.ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut;
j.nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
k.sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain; dan
l.pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
(4)Isi rekam medis pasien dalam keadaan bencana, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah denqan:
a.jenis bencana dan lokasi di mana pasien ditemukan;
b.kategori kegawatan dan nomor pasien bencana masal; dan
c.identitas yang menemukan pasien;
(5)Isi rekam medis untuk pelayanan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.
(6)Pelayanan yang diberikan dalam ambulans atau pengobatan masal dicatat dalam rekam medis sesuai ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (3) dan disimpan pada sarana pelayanan kesehatan yang merawatnya.
Pasal 4
(1)Ringkasan pulang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) harus dibuat o!eh dokter atau dokter gigi yang melakukan perawatan pasien.
(2)Isi ringkasan pulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.diagnosis masuk dan indikasi pasien dirawat;
c.ringkasan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis akhir, pengobatan, dan tindak lanjut; dan
d.nama dan tanda tangan dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan kesehatan.

BAB III
TATA CARA PENYELENGGARAAN
Pasal 5
(1)Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.
(2)Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan.
(3)Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
(4)Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung.
(5)Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat dilakukan pembetulan.
(6)Pembetuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang bersangkutan.
Pasal 6
Dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis.
Pasal 7
Sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis.
BAB IV
PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN KERAHASIAAN
Pasal 8
(1)Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan.
(2)Setelah batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik.
(3)Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut.
(4)Penyimpanan rekam medis dan ringkasan pulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 9
(1)Rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat.
(2)Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan.
Pasal 10
(1)Informasi tentang identitas diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(2)Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:
a.untuk kepentingan kesehatan pasien;
b.memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
c.permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d.permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
e.untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien;
(3)Permintaan rekam medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 11
(1)Penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2)Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KEPEMILIKAN, PEMANFAATAN DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 12
(1)Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.
(2)Isi rekam medis merupakan milik pasien.
(3)Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis.
(4)Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan. dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasren yang berhak untuk itu.
Pasal 13
(1)Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai:
a.pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b.alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran, dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi;
c.keperluan pendidikan dan penelitian;
d.dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
e.data statistik kesehatan.
(2)Pemanfaatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang menyebutkan identitas pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pasien atau ahli warisnya dan harus dijaga kerahasiaannya.
(3)Pemanfaatan rekam medis untuk keperluan pendidikan dan penelitian tidak diperlukan persetujuan pasien, bila dilakukan untuk kepentingan negara.
Pasal 14
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas hilang, rusak, pemalsuan, dan/atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak terhadap rekam medis.
BAB VI
PENGORGANISASIAN
Pasal 15
Pengelolaan rekam medis dilaksanakan sesuai dengan organisasi dan tata kerja sarana pelayanan kesehatan.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 16
(1)Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan organisasi profesi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2)Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 17
(1)Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(2)Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Dokter, dokter gigi, dan sarana pelayanan kesehatan harus menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggai ditetapkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 20
Peraturan in mulai berlaku pada tanggal ditetapkan agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.






v Menganalisis Isi Permenkes no. 269 Tahun 2008
           I.            Aturan – aturan untuk Penyimpangan, pemusnahan dan kerahasiaan
Sesuai Permenkes tersebut dijelaskan antara lain:

A.    Untuk Pelayanan Kesehatan di  Rumah Sakit dalam mengelola dan pemusnahan rekam medis maka harus memenuhi aturan sebagai berikut:
1.     Rekam medis pasien rawat inap wajib disimpan sekurang-kuangnya 5 tahun sejak pasien berobat terakhir atau pulang dari berobat di rumah sakit.
2.     Setelah 5 tahun rekam medis dapat dimusnahkan kecuali ringakasan pulang dan persetujuan tindakan medik.
3.     Ringakasan pulang dan persetujuan tindakan medik wajib disimpan  dalam jangka waktu 10 sejak ringkasan dan persetujuan medik dibuat.
4.     Rekam medis dan ringkasan pulang disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

B.     Untuk Pelayanan Kesehatan non rumah Sakit dalam mengelola dan pemusnahan rekam medis harus memenuhi aturan sebagai berikut:
1.     Rekam medis pasien wajib disimpan sekurang-kuangnya 2 tahun sejak pasien berobat terakhir atau pulang dari berobat. Setelah 2 tahun maka rekam medis dapat dimusnahkan.


Kerahasiaan isi rekam medis yang berupa identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, petugas kesehatan lain, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Untuk keperluan tertentu rekam medis tersebut dapat dibuka dengan ketentuan:
1.     Untuk kepentingan kesehatan pasien.
2.     Atas perintah pengadilan untuk penegakan hukum.
3.     Permintaan dan atau persetujuan pasien sendiri.
4.     Permintaan lembaga /institusi berdasarkan undang-undang.
5.     Untuk kepentingan penelitian, audit, pendidikan dengan syarat tidak menyebutkan identitas pasien.







Permintaan rekam medis tersebut harus dilakukan tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

Sesuai Ketentuan Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 maka kita dapat menjalankan pengelolaan rekam medis di rumah sakit maupun non rumah sakit. Dokter, dokter gigi dan petugas lain, pengelola dan pimpinan harus  menjaga kerahasiaan rekam medis serta dapat memanfaatkan rekam medis sesuai ketentuannya.

  II.            Macam – macam sanksi yang diberikan pelanggaran Permenkes 269 Tahun 2008
Aspek Hukum, Disiplin Dan Etik Rekam Medis
Rekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di pengadilan[8], dan dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain mendapat sanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai dengan UU praktik kedokteran, peraturan KKI, Kode Etik kedokteran Indonesia (KODEKI), dan Kode Etik kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI)[9].
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tentang tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin, ada 3 alternatif sanksi disiplin yaitu :
1.      Pemberian peringatan tertulis.
2.      Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
3.      Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

CONTOH KASUS DALAM PERMENKES 269 TAHUN2008
Kasus Rekam Medis
Ketika seorang petugas kesehatan dituntut karena membuka rahasia kedokteran (isi Rekam Medis) kepada pihak ketiga tanpa izin pasien atau bahkan menolak memberitahukan isi rekam medis (yang merupakan milik pasien) ketika pasien menanyakannya. Seorang tenaga kesehatan dapat secara sengaja membuka rahasia pasien (isi Rekam Medis) dengan cara menyampaikannya secara langsung kepada orang lain. Akan tetapi ia dapat juga membukanya secara tidak sengaja, yaitu ketika ia membicarakan keadaan pasien dengan petugas kesehatan lain di depan umum atau jika ia menaruh Rekam Medis secara sembarangan sehingga orang yang tidak berkepentingan dapat melihatnya. Untuk tindakan membuka rahasia ini petugas kesehatan dapat dikenakan sanksi pidana, perdata maupun administrative. Secara pidana membuka rahasia kedokteran diancam pidana melanggar pasal 322 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 bulan penjara. Secara perdata, pasien yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi berdasarkan pasal 1365 jo 1367 KUH Perdata. Secara administratif, PP No.10 tahun 1966 menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang membuka rahasia kedokteran dapat dikenakan sanksi admninistratif, meskipun pasien tidak menuntut dan telah memaafkannya


2.    Permenkes No. 290 Tahun 2008
A.    PERATURAN DAN DASAR HUKUM
Dalam hukum Kesehatan Terdapat Peraturan yang di gunakan Antara lain , Undang-Undang Dasar 1945,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,PP No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia kedokteran,PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,Permenkes RI No. 585/Men.Kes/Per/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik,Permenkes RI No. 729a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record,Kepdirjen Pelayanan Medis No. HK.00.06.6.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat
(1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
B.     BENTUK INFORMED CONSENT
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

v Menganalisis Isi Permenkes 290 Tahun 2008
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).


Sanksi Hukum terhadap Informed Consent
·         Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
·         Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
·         Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.

ISI INFORMASI YANG HARUS DISAMPAIKAN
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.

Contoh kasus dari permenkes 290 tahun 2008
                         Untuk pasien kegawatdaruratan  yang tidak sadarkan diri dan harus segera diberikan pertolongan sedangkan keluarga belum ada yang dating maka dokter berhak memberikan pertolongan kepada pasien, namun setelah diberikan pertolongan dokter wajib menjelaskan padapasien setelah sadar atau keluarga pasien atas tindakan yang telah diberikan pada pasien tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.


A.    KESIMPULAN
Untuk Permenkes 269 Tahun 2008 : Rekam medis merupakan suatu rekaman atas tindakan yang dilakukan oleh doctor maupun tenaga kesehatan lainnya di suatu rumah sakit. Isi informasi rekam medis bersifat rahasia. Rekam medis diadakan sebagai bentuk tata tertib administrasi layanan rumah sakit dan sebagai dokumen pertanggung jawaban atas segala tindakan medis atas pasien. Pengelolaan, perawatan  hingga pelayanan rekam medis menjadi tanggung jawab masing –masing rumah sakit. Rekam medis memiliki nilai guna ilmu pengetahuan yaitu sebagai referensi utama dalam analisis penyakit ataupun  wabah penyakit. Keberadaan rekam medis dapat dikatakan sebagai arsip yang dihasilkan oleh rumah sakit maupun dokter praktek. Oleh karena itu perlakuannya hamper sama, dengan perlakuan terhadap arsip, seperti pada tahap penyimpanan. Apabila terjadi gangguan terhadap isi informasi rekam medis ( kehilangan maupun pencurian ), terdapat beberapa sanksi hokum yang berlaku. Meskipun tidak seketat sanksi atas gangguan terhadap arsip.
 Untuk Permenkes 290 Tahun 2008 : Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. informed Consent yang di proleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai penemu hak otonomi pasien , sehingga oleh karna nya merupakan tindakan melanggar hukumnamun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya di lakukan dengan mengindahkan nilai nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.

B.    SARAN
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah Dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, meyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap  rekam medis dan Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan .
DAFTAR PUSTAKA
1.      Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
2.      Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
3.      Hanafiah, M. Jusuf, Amri, Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3, 1999, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
4.      Rustiyanto, Ery, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, 2009, Yogyakarta: Graha Ilmu
5.      Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
6.      Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar